Translate

Rabu, 21 Maret 2012

KEDUDUKAN DAN HAK PEREMPUAN DALAM ISLAM



SEBAGAI KAJIAN WANITA DALAM HIMPUNAN MAHASISWA ISLAM STT NJ

OLEH SAIF RIZA.SS/S.Hum

SEBAGAI KONSEP MENUJU MENJAGA KESEMPURNAAN WANITA

Sebagai rujukan prinsip dasar masyarakat Islam, Al-Qur’an menunjukkan bahwa pada dasarnya kedudukan laki-laki dan perempuan adalah sama.[1] Keduanya diciptakan dari satu nafs (living entity), di mana yang satu tidak memiliki keunggulan terhadap yang lain. Atas dasar itu, prinsip Al-Qur’an terhadap hak kaum laki-laki dan perempuan adalah sama, di mana hak istri adalah diakui secara adil (equal) dengan hak suami. Dengan kata lain, laki-laki memiliki hak dan kewajiban atas perempuan, dan kaum perempuan juga memiliki hak dan kewajiban terhadap kaum laki-laki. Itulah mengapa Al-Qur’an dianggap memiliki pandangan yang revolusioner terhadap hubungan kemanusiaan, yakni memberikan keadilan hak antara laki-laki dan perempuan. Terlebih jika dikaitkan dengan konteks masyarakat pra-Islam yang ditransformasikannya.[2]
Ajaran Al-Qur’an tentang perempuan umumnya merupakan bagian dari usaha Al-Qur’an untuk menguatkan dan memperbaiki posisi sebagian atau kelompok lemah dalam kehidupan masyarakat Arab pra-Islam. Apa yang menjadi tujuan pokok Al-Qur’an tentang perempuan adalah menghilangkan bagian-bagian yang memperlakukan perempuan secara kejam.[3]
Kedudukan perempuan dalam pandangan ajaran Islam tidak sebagaimana diduga atau dipraktikkan oleh sementara masyarakat. Ajaran Islam pada hakikatnya memberikan perhatian yang sangat besar serta kedudukan terhormat kepada perempuan.[4] Pemahaman ajaran Islam menyangkut perempuan dapat dilihat dari dua segi, yaitu segi asal penciptaannya dan segi hak-haknya dalam berbagai bidang.
1. Asal Penciptaan Perempuan
Konsep tentang asal penciptaan perempuan merupakan isu yang sangat penting dan mendasar untuk dibahas, karena konsep kesetaraan dan ketidak-setaraan laki-laki dan perempuan berakar dari konsep penciptaan ini.[5] Al-Qur’an memang tidak menyebutkan secara terperinci mengenai asal-usul penciptaan perempuan. Namun, Al-Qur’an menolak pandangan-pandangan yang membedakan (lelaki dan perempuan) dengan menegaskan bahwa keduanya berasal dari satu jenis yang sama dan bahwa dari keduanya secara bersama-sama Tuhan mengembangbiakkan keturunannya, baik yang lelaki maupun yang perempuan.[6]
Mengenai penafsiran Surah an-Nisa’ [4] ayat 1, Riffat Hasan (yang pemikirannya sejalan dengan Muhammad Abduh dan Rasyid Ridha) berpendapat bahwa Adam dan Hawa diciptakan secara serempak dan sama dalam substansinya, sama pula dalam caranya. Jadi, bukan Adam diciptakan terlebih dahulu dari tanah, baru kemudian Hawa dari tulang rusuk Adam.[7]
Di samping itu, Riffat Hasan juga menolak riwayat hadis yang menceritakan asal-usul penciptaan perempuan yang dipahami oleh hampir keseluruhan umat Islam secara keliru bahwa perempuan diciptakan dari tulang rusuk Adam. Sebab, pemahaman ini kemudian mengesankan kerendahan derajat kemanusiaan perempuan dibandingkan dengan lelaki. Namun, cukup banyak ulama yang telah menjelaskan makna sesungguhnya dari hadis tersebut.
Tulang rusuk yang bengkok harus dipahami dalam pengertian majazi (kiasan), dalam arti bahwa hadis tersebut memperingatkan para lelaki agar menghadapi perempuan dengan bijaksana. Sebab, ada sifat, karakter, dan kecenderungan perempuan yang tidak sama dengan lelaki, di mana bila tidak disadari akan dapat mengantar kaum lelaki untuk bersikap tidak wajar. Mereka tidak akan mampu mengubah karakter dan sifat bawaan perempuan. Kalaupun mereka berusaha, akibatnya akan fatal, sebagaimana fatalnya meluruskan tulang rusuk yang bengkok.[8]
Kemudian, Al-Qur’an juga mengikis pandangan masyarakat yang mengantar kepada perbedaan antara lelaki dan perempuan. Al-Qur’an mengecam mereka yang bergembira dengan kelahiran seorang anak lelaki tetapi bersedih bila memperoleh anak perempuan.
“Dan, apabila seorang dari mereka diberi kabar dengan kelahiran anak perempuan, hitam-merah padamlah wajahnya dan dia sangat bersedih (marah). Ia menyembunyikan dirinya dari orang banyak disebabkan buruknya berita yang disampaikan kepadanya itu. (Ia berpikir) apakah ia akan memeliharanya dengan menanggung kehinaan ataukah menguburkannya ke dalam tanah (hidup-hidup). Ketahuilah, alangkah buruk apa yang mereka tetapkan itu.” (Q.S. an-Nahl [16]: 58-59).
Dengan demikian, terlihat bahwa Al-Qur’an mendudukkan perempuan pada tempat yang sewajarnya serta meluruskan segala pandangan yang salah dan keliru yang berkaitan dengan kedudukan dan asal-usul penciptaannya.
2. Hak-hak Perempuan
Sebagaimana kita ketahui bahwa masih ada sebagian umat Islam yang berlaku zalim dengan melarang perempuan menikmati haknya dalam memperdalam pengetahuan agama, berperan di dunia kerja, dan pergi ke masjid-masjid untuk beribadah atau belajar, padahal itu semua diperbolehkan oleh Islam. Ada juga yang memaksakan perempuan untuk menikah dengan laki-laki yang tidak disukainya, bahkan mewajibkan perempuan terpenjara di dalam rumah seumur hidupnya.[9]
Namun, di balik fenomena tersebut, masih ada fenomena lain yang menarik, sebagian umat Islam menolak mentah-mentah sikap kaku dan tidak manusiawi tersbut. Di antara hak-hak yang dimiliki oleh kaum perempuan menurut pandangan ajaran Islam adalah sebagai berikut.
a. Hak-hak Perempuan dalam Bidang Politik
Jika diteliti dalam Al-Qur’an, ada beberapa ayat yang dapat dijadikan dalil bahwa perempuan memiliki peluang yang sama dengan laki-laki untuk berperan dalam wilayah publik, sebagaimana halnya mereka berperan dalam wilayah domestik.[10] Salah satu ayat yang sering kali dikemukakan oleh para pemikir Islam dalam kaitan dengan hak-hak politik kaum perempuan adalah yang tertera dalam Surah at-Taubah [9] ayat 71 yang berisi gambaran tentang kewajiban melakukan kerja sama antara lelaki dan perempuan dalam berbagai bidang kehidupan yang dilukiskan dengan kalimat menyuruh mengerjakan yang ma’ruf dan mencegah yang mungkar. Dengan demikian, setiap lelaki muslim dan perempuan muslimah hendaknya mampu mengikuti perkembangan masyarakat agar masing-masing mereka mampu melihat dan memberikan saran (nasihat) dalam berbagai bidang kehidupan.[11]
Di sisi lain, ayat Al-Qur’an yang juga dijadikan dasar oleh banyak ulama untuk membuktikan adanya hak berpolitik bagi setiap lelaki dan perempuan adalah Surah asy-Syura [42] ayat 38. Di dalamnya terkandung salah satu prinsip pengelolaan bidang-bidang kehidupan secara bersama, termasuk kehidupan politik, yaitu dengan syuuraa (musyawarah). Artinya, setiap warga masyarakat dalam kehidupan bersamanya dituntut untuk senantiasa mengadakan musyawarah.
Atas dasar ini, dapat dikatakan bahwa setiap lelaki ataupun perempuan memiliki hak tersebut, karena tidak ditemukan satu ketentuan agama pun yang dapat dipahami melarang keterlibatan perempuan dalam bidang kehidupan bermasyarakat, termasuk dalam bidang politik. Bahkan sebaliknya, sejarah Islam menunjukkan betapa kaum perempuan terlibat dalam berbagai bidang kemasyarakatan tanpa kecuali.[12]
Kenyataan sejarah menunjukkan, ada sekian banyak kaum wanita yang terlibat dalam soal-soal politik praktis. Misalnya, Ummu Hani. Ia dibenarkan sikapnya oleh Nabi Muhammad saw. ketika memberikan jaminan keamanan kepada sementara orang musyrik (jaminan keamanan merupakan salah satu aspek bidang politik). Bahkan, Aisyah r.a. terlibat bersama sekian banyak sahabat Nabi dalam beberapa hal serta kepemimpinannya dalam peperangan yang dikenal dalam sejarah Islam dengan nama Perang Jamal atau Perang Unta (656 M), menunjukkan bahwa beliau bersama para pengikutnya itu menganut paham kebolehan keterlibatan perempuan dalam politik praktis sekalipun.[13]
b. Hak-hak Perempuan dalam Memilih Pekerjaan
Perempuan dalam pandangan Islam mempunyai hak untuk bekerja di segala bidang pekerjaan yang legal, sebagaimana laki-laki juga mempunyai hak bekerja di segala bidang pekerjaan yang legal.[14] Kalau kita kembali menelaah keterlibatan perempuan dalam pekerjaan pada masa awal Islam, maka tidaklah berlebihan jika dikatakan bahwa Islam membenarkan mereka aktif dalam berbagai aktivitas. Para wanita boleh bekerja dalam berbagai bidang, di dalam ataupun di luar rumahnya, baik secara mandiri maupun bersama orang lain, dengan lembaga pemerintah ataupun swasta, selama pekerjaan tersebut dilakukannya dalam suasana terhormat dan sopan, selama mereka dapat memelihara agamanya, serta dapat menghindari dampak-dampak negatif dari pekerjaan tersebut terhadap diri dan lingkungannya.[15]
Pekerjaan dan aktivitas yang dilakukan oleh perempuan pada masa Nabi cukup beraneka ragam, sampai-sampai mereka terlibat secara langsung dalam peperangan, bahu-membahu dengan kaum lelaki. Di samping itu, para perempuan pada masa Nabi saw. aktif pula dalam berbagai bidang pekerjaan. Ada yang bekerja sebagai perias pengantin, seperti Ummu Salim binti Malhan yang merias antara lain Shafiyah bin Huyay, istri Nabi Muhammad saw. Ada juga yang menjadi perawat atau bidan, dan lain sebagainya. Dalam bidang perdagangan, nama istri Nabi yang pertama, Khadijah binti Khuwailid, tercatat sebagai seorang yang sangat sukses. Kemudian, istri Nabi saw., Zainab binti Jahsy, juga aktif bekerja sampai pada menyamak kulit binatang, dan hasil usahanya itu beliau sedekahkan. Raithah, istri sahabat Nabi yang bernama Abdullah bin Mas’ud, sangat aktif bekerja, karena suami dan anaknya ketika itu tidak mampu mencukupi kebutuhan hidup keluarga ini. Al-Syifa’, seorang perempuan yang pandai menulis, ditugaskan oleh Khalifah Umar r.a. sebagai petugas yang menangani pasar kota Madinah.[16]
Demikian sedikit gambaran yang terjadi pada masa Rasulullah saw. dan sahabat beliau menyangkut keikutsertaan perempuan dalam berbagai bidang usaha dan pekerjaan. Tentu saja tidak semua bentuk dan ragam pekerjaan yang terdapat pada masa kini telah ada pada masa Nabi saw. Namun, pada akhirnya para ulama menyimpulkan bahwa perempuan dapat melakukan pekerjaan apa pun selama ia membutuhkannya atau pekerjaan itu membutuhkannya serta selama norma-norma agama dan susila tetap terpelihara.

RUJUKAN, PSIKOLOGI QUR AAN
FIQIH WANITA
SEJARAH WANITA-WANITA TERBAIK DALAM ISLAM